URGENSI ETIKA ISLAM DI ERA DIGITAL
APENDAHULUAN
. Latar belakang
. Latar belakang
Perkembangan teknologi berjalan begitu cepat
dan dampaknya ikut memengaruhi pola pikir, perilaku, dan sikap pada generasi
masa kini.[1] kemudahan
berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui media digital berbasis media
sosial dapat mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia, seperti mempererat
tali silaturahim, untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan kegiatan positif
lainnya.[2]
Jika kita berbicara mengenai remaja dan literasi media, maka akan memicu
timbulnya isu agar kita terus mengikuti perkembangannya, bahkan menarik untuk
dilihat secara nyata. Jaman sekarang remaja, jika mereka tidak dapat
memanfaatkan media sosial yang ada, akan dianggap sebagai remaja yang
ketinggalan jaman. Sehingga akan muncul dorongan, bagamana caranya agar mereka
bisa memainkan program yang ada dalam media sosial pada umumnya. Dan untuk
mewujudkan itu semua sangatlah gampang. Teknologi informasi yang paling banyak
digunakan masyarakat adalah media sosial. Berbagai kegiatan menjadi mudah karena
hadirnya media sosial di dalam kehidupan kita. Tapi sayang, kenyataannya malah
berbalik. Nyatanya sekarang ini banyak ditemukan orang yang lebih peduli dengan
baterai smartphonenya dibanding dengan lingkungan sekitar.
Hal ini terbukti dengan adanya
handphone, internet, majalah remaja, dan televisi yang dapat menunjang apa yang
menjadi kemauan mereka saat ini. Hal ini juga terkadang remaja merasa gengsi
dan tidak gaul jika mereka tidak mampu bergabung dalam media sosial seperti
facebook, instagram, twitter, youtube dan lain sebagainya yang akan membuat
mereka terhubung dengan kehidupan global. Sehingga apabila remaja-remaja
tersebut asik dengan kegiatan individual mereka di depan media-media sosial
maka yang akan terjadi mereka akan kurang berintraksi dengan orang tua,
keluarga, kerabat bahkan teman-teman yang berada di lingkungan itu sendiri. Remaja
akan asik dengan teman-teman yang ada di dunia maya. Teman yang terkadang kita
tidak pernah melihatnya. Tetapi banyak yang tidak menyadari hal tersebut. Yang
mereka banggakan adalah mereka bisa kenal dan berteman dengan orang-orang yang
berada di luar sana, sehingga akan membuat intraksi dengan teman sebaya yang
selalu berada di sekitarnya, lambat laun akan dilupakan.[3]
Perilaku atau karakteristik
Generasi milenial di setiap
daerah di Indonesia, pasti
memiliki perbedaan karateristik. Namun secara keseluruhan, bahwa
generasi Milenial sangat terbuka pola komunikasinya dibandingkan
generasi-generasi
sebelumnya. Mereka juga pemakai
media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan
perkembangan teknologi. Contohnya tentang pandangan politik dan ekonomi pikiran
mereka lebih terbuka sehingga mereka
dapat lebih reaktif atau responsif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi
di sekelilingnya.[4]
Pengaruh positif
maupun negatif timbul
seiring munculnya berbagai
macam media sosial. Pengaruh
positif dan negatifnya tergantung bagaimana setiap orang menggunakan dan
menyikapi media sosial tersebut. Namun dewasa ini, banyak sekali penyimpangan
moral yang dilakukan oleh remaja
khususnya dalam bermedia sosial. Belum
sempurnanya kematangan pemikiran remaja membawa pengaruh
negatif terhadap informasi yang tidak baik melalui media
sosial. Media sosial
menjadi wadah bagi
remaja untuk menuangkan
kebebasan berekspresi, baik itu bentuk gambar ataupun pesan-pesan.
Sekarang ini terbilang sangat mudah bila seseorang ingin membuat akun sosial
media. Kalangan remaja biasanya suka memposting aktivitas pribadinya, foto-foto
dan curhatannya. Semakin aktif seorang remaja di media sosial maka mereka
semakin terlihat gaul dan keren di kalangan
mereka. Namun kalangan
remaja yang gaptek
alias gagap teknologi
di anggap ketinggalan jaman
dan kurang gaul. Jejaring
sosial menghapus batasan-batasan dalam bersosialisasi. Dalam
jejaring sosial tidak
ada batasan ruang
dan waktu, mereka
dapat berkomunikasi kapanpun dan
dimanapun mereka berada.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa jejaring sosial mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan
seseorang. Seseorang yang asalnya kecil bisa menjadi besar dengan jejaring sosial,
begitu pula sebaliknya. Etika dalam bermedia sosial menjadi hal yang sangat
penting. Diadakannya pelatihan mengenai etika dalam bermedia sosial dirasa
cukup penting meskipun hal tersebut masih tabu untuk dilakukan. Kemerosotan
moral anak bangsa diperparah dengan tidak bijaknya dalam menggunakan media
sosial. Remaja masa kini dapat menyebarkan dan mendapatkan informasi dengan cepat
dan mudah hanya dengan menggunakan media sosial. Terlebih lagi di media sosial
tidak ada filter
informasi negatif yang
dapat dengan mudah
dikonsumsi penggunanya. Hal ini yang membuat moral anak bangsa cenderung
buruk karena mereka dapat meniru informasi negatif yang tidak seharusnya mereka
dapatkan dengan bebas.[5]
Dalam
menerima informasi media massa atau yang lebih cenderung pada media sosial masa
kini, masyarakat sangat mudah percaya dan mudah dipengaruhi tentang informasi
yang telah menyebar. Pikiran manusia yang bebas seakan-akan terarah dalam satu
masalah yang belum tentu kebenaran. Kebebasan dalam berfikir dan menerima
informasi, masyarakat seakan-akan hanya mengambil kesimpulan dan persepsi dari
apa yang sudah di sediakan media. Kebebasan merupakan salah satu aspek dalam
masyarakat untuk mengembangkan potensi atau informasi yang mereka terima. Dalam
bahasa agama, kebebasan adalah fitrah yang seja lahir menjadi karakteristik
potensial yang dapat berkembang, dan untuk itu Allah meletakan kebebasan pada
diri setiap manusia sebagai tanda eksistensinya.[6]
Namun pengguna media sosial seringkali menerima dan menyebarkan informasi yang
belum tentu benar serta bermanfaat, bisa karena sengaja atau ketidaktahuan,
yang bisa menimbulkan mafsadah di tengah masyarakat; serta penggunaan media
digital, khususnya yang berbasis media sosial di tengah masyarakat seringkali
tidak disertai dengan tanggung jawab sehingga tidak jarang menjadi sarana untuk
penyebaran informasi yang tidak benar, hoax¸ fitnah, ghibah, namimah, gosip,
pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi
palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial. Selain itu
juga bahwa menurut bahwa ada ribuan kasus pelanggaran UU ITE dari tahun 2017
hingga 2019. ada sekitar 6.895 akun yang dirinci sebagai berikut, yakni pada
2017 terdapat 1.338 akun, 2018 ada 2.552, dan pada 2019 terdapat 3.005 kasus.
Akun-akun tersebut diselidiki dan ditengarai melakukan tindak pidana yang
dilakukan dengan media sosial.[7]
PEMBAHASAN
B. Industry
4.0 dan Kaum Milenial
Secara
singkat, pengertian industri 4.0 adalah tren di dunia industri yang menggabungkan
teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber. Tren ini telah mengubah banyak
bidang kehidupan manusia, termasuk ekonomi, dunia kerja, bahkan gaya hidup
manusia itu sendiri. Singkatnya, revolusi 4.0 menanamkan teknologi cerdas yang
dapat terhubung dengan berbagai bidang kehidupan manusia.
Revolusi
industri 4.0 memiliki empat prinsip yang memungkinkan setiap perusahaan untuk
mengidentifikasi dan mengimplementasikan berbagai skenario industri 4.0,
diantaranya adalah:
1. Interoperabilitas
(kesesuaian); kemampuan mesin, perangkat, sensor, dan manusia untuk terhubung
dan saling berkomunikasi satu sama lain melalui media internet untuk segalanya
(IoT) atau internet untuk khalayak (IoT).
2. Transparansi
Informasi; kemampuan sistem informasi untuk menciptakan salinan dunia fisik
secara virtual dengan memperkaya model pabrik digital dengan data sensor.
3. Bantuan
Teknis; pertama kemampuan sistem bantuan untuk membantu manusia mengumpulkan
data dan membuat visualisasi agar dapat membuat keputusan yang bijak. Kedua,
kemampuan sistem siber-fisik untuk membantu manusia melakukan berbagai tugas
yang berat, tidak menyenangkan, atau tidak aman bagi manusia.
4. Keputusan
Mandiri; kemampuan sistem siber-fisik untuk membuat keputusan dan melakukan
tugas semandiri mungkin.
Revolusi industri 4.0 akan membawa
banyak perubahan dengan segala konsekuensinya, industri akan semakin kompak dan
efisien. Namun ada pula risiko yang mungkin muncul, misalnya berkurangnya
Sumber Daya Manusia karena digantikan oleh mesin atau robot. Dunia saat ini
memang tengah mencermati revolusi industri 4.0 ini secara saksama. Berjuta
peluang ada di situ, tapi di sisi lain terdapat berjuta tantangan yang harus
dihadapi. Apa sesungguhnya revolusi industri 4.0? Prof. Klaus Martin Schwab,
teknisi dan ekonom Jerman, yang juga pendiri dan Executive Chairman World
Economic Forum, yang pertama kali memperkenalkannya. Dalam bukunya The Fourth
Industrial Revolution (2017), ia menyebutkan bahwa saat ini kita berada pada
awal sebuah revolusi yang secara fundamental mengubah cara hidup, bekerja dan
berhubungan satu sama lain.
Teknologi digital dan internet mulai
dikenal pada akhir era ini. Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya
Internet of/for Things, kehadirannya begitu cepat. Banyak hal yang tak
terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba muncul dan menjadi inovasi baru, serta
membuka lahan bisnis yang sangat besar. Munculnya transportasi dengan sistem
ride-sharing seperti Go-jek, Uber, dan Grab. Kehadiran revolusi industri 4.0
memang menghadirkan usaha baru, lapangan kerja baru, profesi baru yang tak
terpikirkan sebelumnya.[8] Revolusi
Industri merupakan titik balik dalam sejarah yang ditandai dengan perubahan
secara besar- besaran di berbagai bidang. Sebagai contoh bidang
pertanian,pertambangan, transportasi, manufaktur dan teknologi. Selain itu
revolusi industri mempunyai dampak yang signifikan terhadap kondisi sosial,
ekonomi dan budaya di dunia. Dengan transformasi yang sangat cepat tersebut
maka responnya harus terintegrasi dan komprehensif, yang melibatkan semua pihak
yang berkepentingan dari pemerintahan global, sektor publik dan swasta hingga
akademisi dan masyarakat luas.[9]
Millennial adalah
istilah cohort
dalam demografi, merupakan kata benda yang berarti pengikut atau kelompok. Saat ini
ada empat cohort besar dalam demografi, yaitu Baby Boomer (lahir pada tahun 1946-1964), Gen-X (lahir pada tahun
1965-1980), Millennial (lahir pada tahun 1981-2000), dan
Gen-Z (lahir pada
tahun 2001-sekarang). Dalam literatur lain, Menurut Absher dan Amidjaya
bahwa generasi millennial merupakan generasi yang lahirnya berkisar antara 1982
sampai dengan 2002, selisih yang tidak terlalu signifikan. Generasi dalam
era millennial ini seperti:
google generation, net generation, echo
boomers, dan dumbest
generation. Oleh karena
itu, masyarakat generasi millennial itu bisa ditandai dengan meningkatnya
penggunaan alat komunikasi,
media dan teknologi
informasi yang digunakan.
Misalnya: internet, MP3 player, youtube, facebook, instagram dan lain
sebagainya. Generasi millennial merupakan
inovator, karena mereka mencari, belajar dan bekerja di dalam lingkungan
inovasi yang sangat mengandalkan teknologi untuk melakukan perubahan di dalam
berbagai aspek kehidupannya. Hasanuddin
Ali dan Lilik
Purwandi menyimpulkan bahwa masyarakat Urban Middle-Class
Millennial memiliki tiga karakter utama, yaitu 3C; connected, creative, dan confidence.
Pertama, connected. Generasi millennial
adalah pribadi yang
pandai bersosialisasi, terutama
dalam komunitas yang mereka ikuti
serta berkelana di media sosial. Kedua,
creative. Mereka adalah orang yang biasa
berpikir out of the box, kaya akan
ide dan gagasan
serta mampu mengomunikasikannya secara cemerlang yang dibuktikan dengan
tumbuhnya industri yang dimotori oleh
anak muda. Ketiga,
confidence. Mereka merupakan
orang yang percaya diri,
berani mengungkapkan pendapat,
serta tidak sungkan berdebat di
depan publik, seperti yang
terjadi di media
sosial.[10]
C. Urgensi
Etika Islam Di Era Industry 4.0
Sejarah
kehidupan manusia, belum pernah menunjukkan bukti akan adanya manusia yang
bentuk fisiknya bercitra sama walaupun lahir secara kembar. Selalu bisa
dikenali suatu ciri khas sebagai penanda seseorang berbeda dari yang lain. Kepentingan
dan tujuan ideal hidup manusia bisa sama, namun detail dan nilai keduanya akan
berbeda bagi setiap orang. Manusia adalah makhluk paling unik yang selalu ingin
menunjukkan keunikan dari personalnya. Dalam pengertian seperti itu keunikan
merupakan akar keberadaan dan kebutuhan manusia untuk berkomunikasi, sekaligus
sebagai cara manusia menunjukkan kehadiran diri personalnya. etika dalam upaya
mendatangkan perubahan individu secara integral mencakup sifat dan fisiknya
melalui pengajaran dan latihan. Karena itu, penting menyadari kembali makna
pendidikan sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan
kreatif.[11]
Pemanusiawian manusia, berarti ingin menempatkan manusia ini sesuai dengan
proporsi dan hakekat kemanusiannya. Agar manusia menemukan kediriannya, agar
setiap individu itu menyadari dan memahami “siapa dia”, konsepsi seperti ini
sangat penting sebagai landasan filosofis dan dasar motivasi untuk melakukan
aktivitas belajar–mengajar, sebab manusia belajar harus juga terarah pada
pembentukan diri manusia agar dapat menemukan kemanusiaan dan makhluk sosial serta
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.[12]
Manusia
telah diciptakan Tuhan berbeda dengan makhluk lainnya, ia mempunyai etika
tersendiri, yaitu etika sebagai makhluk yang paling mulia. Jika melihat wujud
jasmaninya maka dapat dikatakan bahwa manusia itu sama, akan tetapi tidak
demikian dengan etikanya, manusia yang satu dengan yang lain memiliki
sifat-sifat pribadi yang berbeda.[13] L.T.
Takhrudin dalam bukunya pribadi-pribadi yang berpengaruh, menyatakan kaitannya
dengan pertanyaan-pertanyaan di atas yaitu bahwa: Pribadi-pribadi yang kurang
baiklah yang menimbulkan suasana yang kurang aman, kurang tentram serta selalu
menimbulkan bencana dan huru hara dimana-mana. Kebanyakan orang memiliki etika
lemah, seperti kita lihat sendiri, banyak orang yang bersikap pengecut,
menyendiri, ragu-ragu dalam mengambil keputusan, pesimis dan sebagainya. Bahkan
ada yang lebih lemah etikanya daripada itu, banyak diantara mereka yang menarik
diri dari pergaulan karena selalu berfikir negatif, apriori, malas dan sebagainya.
Banyak pula yang kompensasi, seperti banyak mengkritik, menghina dan mencaci
maki, atau berpura-pura baik dan sopan yang dibuat-buat.[14]
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlaq (moral).[15] Menurut Bertens, etika biasa dipakai dalam
arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam arti ini etika
bersifat relatif di dalam suatu wilayah/ daerah.[16]
Secara
etimologis kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos, ethos
yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik. Ethikos berarti
susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan
yang baik. Kata “etika” dibedakan dengan kata “etik” dan “etiket”. Kata
etik berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat. Adapun
kata etiket berarti tata cara atau adat, sopan santun dan lain sebagainya dalam
masyarakat beradaban dalam memelihara hubungan baik sesama manusia.[17] Sedangkan
secara terminologis etika berarti pengetahuan yang membahas baik-buruk atau
benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti
kewajiban-kewajiban manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola
tingkah laku yang dihasilkanoleh akal manusia. Seperti halnya akhlak, secara
etimologi etika juga memiliki maknayang sama dengan moral. Tetapi, secara
terminologi dalam posisi tertentu, etika memiliki makna yang berbeda dengan
moral. Sebab, etika memiliki tiga (3) posisi, yakni sebagai sistem nilai, kode
etika, dan filsafat moral.[18] Etika
sebagai sistem nilai berarti nilai-nilai dan norma norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau komunitas dalam mengatur tingkah lakunya. Etika
merupakan ilmu yang menyelidiki perbuatan atau tingkahlaku manusia mana yang
baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan sejauh yang diketahui oleh akal
pikiran.[19]
Dari pengertian mengenai etika atau personality itu dinamis, tidak statis atau
tetap saja tanpa perubahan. Ia menunjukkan tingkah laku yang terintegrasi dan
merupakan interaksi antara kesanggupan-kesanggupan bawaan yang ada pada
individu dengan lingkungannya. yang
berarti baik faktor jasmaniah maupun rohaniah individu itu bersama-sama
memegang seseorang sifatnya khas mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan individu lain.
Konsep
pendidikan etika dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting,
sehingga hampir setiap kehidupan manusia tak pernah lepas dari etik. Pendidikan
etika yang bermuara pada akhlak adalah tema sentral bagi pelaksanaan
pendidikan, karena pendidikan akhlak ini merupakan asas dasar bagi manusia
untuk berinteraksi dengan Sang Pencipta ( ha b l u n m i n a llah)
maupun dengan sesama manusia (hablun min al-nas). Kepribadian seseorang bertumbuh dan terbentuk
dalam kelompok, anak sejak kecilnya membutuhkan sekelompok orang yang
memperhatikannya. Semakin besar si anak, semakin bertambah kebutuhannya untuk
bergabung dengan kelompok yang berada di luar keluarga dan semakin bertambah
luas pergaulan itu memunculkan persoalan-persoalan akibat perbedaan pembinaan
kelompok itu dan berlainan tingkat budaya, ekonomi dan sosial masing-masing.[20]
Kita mengetahui bahwa di dalam pendidikan terdapat 3 ranah yang dikembangkan
yaitu: kecerdasan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan etika (afekif), dua
yang pertama nampak lebih dipentingkan dalam praktek pendidikan. Sementara
ranah etika seringkali kurang memperoleh perhatian sewajarnya. Hal ini
disebabkan pandangan yang kurang seorang kecerdasan manusia hanya berhubungan
dengan otaknya, sehingga memunculkan teori tentang cara mengukur kecerdasan
otak yang dikenal dengan IQ. Dunia pendidikan selam ini kurang menaruh
perhatian pada pertumbuhan pribadi anak yang sering dibiarkan tumbuh alamiah.
Padahal, hanya dengan memiliki IQ tinggi tanpa EQ dan SQ yang memadai justru
membuat seseorang lebih berbahaya karena mudah melakukan kejahatan profesional.
Disinilah pendidikan etika bertujuan mengembangkan kedua aspek yang sering
terlupakan, yaitu kecerdasan emosional dan spiritual yang bertumpu pada masalah
diri.[21]
Tujuan pendidikan etika pada intinya adalah menumbuhkan pribadi yang sadar
diri, bertanggung jawab, sadar lingkungannya, yang peka terhadap hubungan
sosial dan pribadi yang shaleh, beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu dengan pendidikan ini pula diharapkan akan muncul pribadi yang
secara kreatif mampu mencari penyelesaian atas persoalan yang dihadapinya.
Inilah yang dimaksud dengan kecerdasan atau kepintaran kreatif dan etika yang
bertanggung jawab.[22]
Sedangkan
“Akhlak", secara etimologi
istilah yang diambil dari bahasa arab dalam bentuk jamak. Al-Khulq merupakan bentuk mufrod (tunggal) dari Akhlak yang memiliki arti
kebiasaan, perangai, tabiat, budi pekerti. Tingkah laku yang telah menjadi
kebiasan dan timbul dari dari manusia dengan sengaja. Kata akhlak dalam
pengertian ini disebutkan dalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal. Kata khulq
dalam firman Allah SWT merupakan pemberian kepada Muhammad sebagai bentuk
pengangkatan menjadi Rasul Allah”.[23]
Secara
etimologi kedua istilah akhlak dan etika mempunyai kesamaan makna yaitu kebiasaan dengan baik
dan buruk sebagai nilai kontrol. Selanjutnya Untuk mendapatkan rumusan
pengertian akhlak dan etika dari sudut
terminologi, ada beberapa istilah yang dapat dikumpulkan. Imam Al-Ghazali dalam
kitab Ihya ‘ulumiddin, menyatakan bahwa, “Khuluk yakni sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorong lairnya perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa
pertimbangan dan pemikiran yang mendalam.”[24]
Al-Ghazali
berpendapat bahwa adanya perubahan-perubahan akhlak bagi seseorang adalah sifat
, misalnya dari sifat kasar kepada sifat kasian. Disini Imam Al-Ghazali
membenarkan adanya perubahan-perubahan keadaan terhadap beberapa ciptaan Allah,
kecuali apa yang menjadi ketetapan Allah seperti langit dan bintang-bintang.
Sedangkan pada keadaan yang lain seperti pada diri sendiri dapat diadakan
kesempurnaannya melalui jalan pendidikan. Menghilangkan nafsu dan kemarahan
dari muka bumi sungguh tidaklah mungkin namun untuk meminimalisir keduanya
sungguh menjadi hal yang mungkin dengan jalan menjinakkan nafsu melalui
beberapa latihan rohani .[25]
Sementara Ibnu Maskawaih dalam kitab tahdzibul Akhlak menyatakan bahwa :“Khuluk
ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak
menghajatkan pemikiran”. Selanjutnya Ibnu Maskawaih menjelaskan bahwa keadaan
gerak jiwa dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, bersifat alamiah dan bertolak
dari watak seperti marah dan tertawa karena hal yang sepele. Kedua, tercipta
melalui kebiasaan atau latihan.[26]
Haidar
bagir menyamakan ahklak dengan moral, yang lebih merupakan suatu nilai baik dan
buruk dari setiap perbuatan manusia. Sedangkan etika merupakan ilmu dari akhlak
atau dapat dikatakan etika adalah ilmu yang mepelajari perihal baik dan buruk.[27]
Pembahasan
masalah etika, mengambil objek material perilaku atau perbuatan manusia yang
dilakukan secara sadar. Dengan demikian maka etika harus melihat manusia
sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan untuk berbuat dan bertindak sekaligus
bertanggung jawab terhadap perbuatan dan tindakan yang dilakukannya. Etika
merupakan suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatanalam dan
masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi. Sedangkan tanggung jawab
dapat dipertanggungjawabkan atau dapat dituntut apabila ada kebebasan. Dengan
demikian, masalah kebebasan dan tanggung jawab dalam etika merupakan sebuah
keniscayaan. Kebebasan bagi manusia pertama-tama berarti, bahwa ia dapat
menentukan apa yang mau dilakukannya secara fisik. Ia dapat menggerakkan
anggota tubuhnya sesuai dengan kehendaknya, tentu dalam batas-batas kodratnya
sebagai manusia. Jadi kemampuan untuk menggerakkan tubuhnya memang tidak
terbatas. Kebebasan manusia bukan sesuatu yang abstrak, melainkan konkret,
sesuai dengan sifat kemanusiaannya.[28]
Aristoteles
mendefinisikan etika sebagai suatu kumpulan aturan yang harusdipatuhi oleh
manusia.[29]
Segi perbedaannya etika menentukan baik buruknya manusia dengan tolak ukur akal
pikiran. Sedangkan akhlak dengan menetukannya dengan tolak ukur ajaran agama (al-Quran dan al-Sunnah).[30]
Sementara dalam bahasa arab etika dikenal juga sebagai akhlak yang berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Sedangkan secara istilah ada
beberapa pengertian tentang etika itu sendiri seperti Menurut Hamzah Ya’kub
etika adalah ilmu tingkah laku manusia yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
dan tindakan moral yang betul , atau tepatnya etika adalah ilmu yang
menyelidiki mana baik dan mana yang
buruk.
Menurut
Amin etika/akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya.
Menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat9. Ajaran etika
berpedoman pada kebaikan dari suatu perbuatan yang dapat dilihat dari
sumbangasihnya dalam menciptakan kebaikan hidup sesama manusia, baik buruknya
perbuatan seseorang dapat dilihat berdasarkan besar kecilnya dia memberikan
manfaat kepada orang lain. Dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan
seseorang, maka yang menjadi tolak ukur adalah akal pikiran. Selain etika ada
juga yang dapat menentukan suatu perbuatan baik atau buruk yaitu akhlak. Namun
dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan yang menjadi tolak ukur dalam
akhlak yaitu al-Quran dan al-Sunnah.[31]
Islam adalah agama yang mulia dan mengatur segala aspek kehidupan termasuk
pergaulan. Dalam islam ada beberapa etika yang harus dipenuhi dan hal ini
disebut dengan etika Islam. Secara bahasa kata etika berasal dari kata ethokos
(Yunani) atau ethos yang memiliki arti karakter, kebiasaan, kecenderungan dan
penggunaan. Kata etika itu sendiri juga cenderung identik dengan kata dalam
bahasa latin mos yang artinya adat atau tata cara kehidupan. Dengan kata lain
etika islami adalah sistem atau tata cara yang mengatur tingkah laku seseorang
terutama dalam masyarakat. Etika islam adalah etika yang dilandasi oleh hukum
islam dan mutlak mengikat semua umat muslim terutama dalam pergaulan. Pokok
dasar etika islam tercantum dalam alqur’an seperti firman Allah dalam surat Al
qalam ayat 4 dan Ali Imran ayat 104 yang bunyinya.[32]
”Sesungguhnya
engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”. (Al Qalam ; 4)
”Hendaklah
ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebaikan (al-khair) menyerukan
kepada ma’ruf (yang baik) dan melarang dari perbuatan munkar dan itulah
orangorang yang bahagia” (Q.S. Ali-Imran: 104)
D. Dampak
Media Dalam Pembentukan Etika
Dalam
wacana kritis, dipahami bahwa media bukan lembaga yang muncul dari ruang hampa,
oleh sebab itu teks pemberitaan yang dihasilkan juga sudah pasti tidak akan
lepas dari interaksi, bahkan kompromi dengan situasi situasi tertentu. Maka
tuntutan terhadap prinsip kebenaran dan keadilan di sini adalah tuntutan
agar media cetak berpihak atas dasar
hati nuraninya dan tidak memihak dalam peristiwa konflik. Demikian juga media tidak mungkin dalam
penulisan teks pemberitaannya tidak melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta
yang didapat di lapangan, tetapi tuntutannya dalam prinsip ini adalah tidak
melakukan penafsiran yang mengandung penghakiman (judgmental opinion), tetapi cukup melakukan penafsiran (interpretative) berdasarkan data-data
yang tersedia tanpa penghakiman tertentu. Terlebih bahwa secara religius, teks
pemberitaan sebagai bentuk pengungkapan-pengungkapan bahasa dalam masyarakat memiliki kewajiban transendental
untuk tidak menimbulkan kerusakan,
ataupun yang secara moral dipandang rendah seperti mengumpat (caci maki),
mengolok-olok (black campaign),
fitnah dan sikap yang membeda-bedakan atau tidak adil terhadap pihak-pihak
tertentu yang terlibat dalam
peristiwa. Penilaian terhadap
media sebenarnya adalah penilaian terhadap orangorang yang menjadi pelaku
media. Media massa hanyalah peralatan yang dipergunakan oleh para pelakunya
untuk bertindak dan bersikap. Sikap media dan perilaku media hakikatnya adalah
hasil dari kompromi para pelakunya, apakah ia akan menjadi baik atau menjadi
buruk tergantung dari apa yang pelaku media lakukan terhadap media massa
tersebut. The man behind the media.
Para pelaku inilah yang menjadi “jiwa penggerak” bagi media, dan di dalam diri
para pelaku ada jiwa yang sesungguhnya, jiwa yang menggerakkan jiwa pengerak. Teks pemberitaan hanya “jejak”
dari keyakinan, idelogi dan perilaku
pada pelakunya. Sebagaimana diungkapkan oleh David Hume: Sebuah tindakan
tidak memiliki moral dalam dirinya sendiri;
untuk mempelajari nilai moral manusia kita harus melihat ke dalam. Karena kita
tidak bisa melakukannya secara langsung, kita memberi perhatian kepada
tindakan; tetapi tindakan hanyalah
sebuah jejak dari keinginan batin, dan
karenanya sebuah dugaan atas moral.
Hal
paling penting dalam etika, termasuk dalam etika pemberitaan ini dalam tinjauan
Islam adalah kesadaran moral yang berangkat dari dalam diri, bertolak dari
kondisi jiwa yang terbentuk menjadi mentalitas etika. Bisa saja, seseorang
berbuat “baik” dalam pengertian tidak melanggar norma masyarakat, tetapi sikap
itu bisa jadi hanya berupa sebuah “disiplin sosial” yang dilakukan degan
pertimbangan-pertimbangan keuntungan-keuntungan atau kepentingan tertentu yang
sekular. Hal ini akan berbeda dengan
sikap yang muncul dari dalam jiwa, ia akan hadir dalam kondisi bagaimanapun dan
menuntut untuk dilaksanakan, terlepas
dalam kesaksian orang lain maupun tidak, karena kesaksian bagi jiwa
cukup diyakini selalu hadir dari Tuhan yang Maha Mengetahui (muraqabah). Kepribadian manusia terletak pada akhlak
sebagai gerak jiwa yang mengakibatkan terwujudnya perbuatan seseorang dengan
mudah. Perilaku lahiriah ini tidak lain
merupakan ekspresi dari bisikan-bisikan dalam hati (alQalb), hati inilah yang
menjadi kendali bagi semua perbuatan, tidak ada suatu perbuatan yang dilakukan
kecuali sebagai tanda-tanda dari hati.
Hati yang sehat baik dan luhur akan menghasilkan perbuatan yang baik dan mulia,
sebaliknya hati yang rusak dan jahil akan menghasilkan perbuatan-perbuatan yang
buruk. Penilaian moral dengan demikian harus ditujukan kepada kondisi hati ini;
Allah
tidak memandang bentuk kalian melainkan memandang hati dan perbuatan kalian. (Al-Hadits)
Tetapi
Allah menghukum kamu disebabkan apa yang dilakukan oleh hatimu. (QS.AlBaqarah :
225)
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan
seseorang melainkan di dekatnya ada malaikat Raqib (pencatat kebaikan) dan
malaikat Atid (pencatat keburukan) (QS. Qaf : 18)
Dengan
demikian para pelaku media cetak di dalam ruang redaksi (wartawan, redaktur,
editor, dan pemilik media) semestinya menjadi “jiwa” yang sehat, baik dan luhur
bagi perkembangan medianya, sehingga wacana yang diproduksi melalui
pemberitaan-pemberitaan di media cetaknya ini dapat mewujudkan pemberitaan yang
bernilai etika. Tarik ulur kepentingan
dan situasi sosial politik bahkan ekonomi yang melingkupi proses produksi
pemberitaan harus mendapatkan
pertimbangan dari hati nurani, sehingga keputusan untuk beropini, berinterpretasi, bahkan berpihak
pada situasi tertentu bukan diputuskan dengan pertimbangan kepentingan ekonomi
atau politis sesaat, atau kecenderungan
naluri rendah, melainkan didasarkan pada
pertimbangan etika, tanggungjawab dan keadilan dan kebenaran sehingga
melahirkan media massa yang berkarakter, berkepribadian dan bermoral.
Pemberitaan
politik sangat penting dalam konteks masyarakat, karena dimensi politik berhubungan erat dengan masyarakat secara
keseluruhan. Kehidupan bermasyarakat secara luasnya berbangsa dan bernegara
membentuk sistem kewenangan yang mengatur hubungan-hubungan antar
anggota-anggota di dalamnya. Oleh karena itu secara sederhananya, politik
dihubungkan dengan struktur-struktur dan pranata-pranata yang memiliki kewenangan kekuasaan untuk
mengatur bagaimana personal-personal masyarakat berbuat dan bertindak dalam
kehidupan bersama. Adanya kekuasaan dalam kewenangan sebagai hak dan kewajiban
suatu struktur tertentu sangat menarik pihak-pihak tertentu untuk
memperolehnya. Jika preferensi yang diperoleh
tidak benar, tidak akurat dan tidak lengkap maka keputusan yang diambilpun
akan salah atau tidak tepat sehingga dapat menimbulkan kekecewaan, penyesalan,
bahkan kesengsaraan atau penderitaan. Namun sebaliknya jika preferensi yang
diperoleh benar, akurat dan lengkap, maka pertimbangannya dalam melakukan
sesuatu menjadi benar sehingga perbuatannya akan tepat, cermat, dan benar
sehingga akan mendatangkan kebahagiaan.
Kehidupan
beragama di Indonesia yang cukup kuat, memiliki potensi besar dalam pembinaan
jiwa dan rasa kemanusiaan. Pengalaman
keberagamaan menjadi dasar bagus untuk membentuk kesadaran religius yang dapat
ditransformasikan dalam perilaku sosial.
Ajaran-ajaran agama seperti
penghayatan bahwa Tuhan Maha Melihat semua perbuatan manusia, perbuatan
baik akan mendapatkan pahala, dan perbuatan buruk akan mendapatkan balasan keburukan, agama membawa rasa cinta dan damai
akan menumbuhkan sikap merasa diawasi,
dorongan berbuat kebaikan, motif ridla dan ikhlas, dan sebagainya. Moralitas personal dibangun
kesadaran-kesadaran semacam ini, yang memunculkan kekuatan suara hati dan hati
nurani. Pengetahuan baik dan buruk
menjadi kesadaran yang terintegral antara tugas-tugas kejurnalistikan dengan
penghayatan terhadap nilai baik dan buruk.
Praktek-praktek jurnalisme dalam pemberitaan politik menjadi aktualisasi
dari sikap jiwa yang terbina oleh
kesadaran religius.[33]
E.
Penggunaan
Media Sosial Bagi Kaum Milenial
Pengaruh
media sosial terhadap generasi milenial di Indonesia sangat kuat. Dengan adanya
generasi ini, banyak masyarakat yang tidak punya etika bermedia sosial. Peran
generasi milenial dalam perkembangan teknologi mampu menimbulkan dampak negatif
dan positif.[34]
Di era modern saat ini media sosial (medsos) telah menjadi kebutuhan penting.
perkembangan internet yang demikian pesat membuat hampir semua orang memiliki
ruang digital. Terutama bagi mereka yang hidup di kota, berbagai sarana dan
prasarana pendukung yang ada semakin memudahkan mereka untuk eksis di dunia
maya ini. Kaum milenial menjadi generasi yang memiliki eksistensi tinggi di
dunia medsos. Sebutan milenial ini ditujukan untuk mereka yang lahir tahun
2000-an ke atas. Di tahun-tahun inilah perkembangan teknologi demikian pesat
sehingga karakter generasi milenial yang lahir dan tumbuh di tahun-tahun ini
dibesarkan dengan akses informasi dan komunikasi yang demikian terbuka. Oleh
karena itu, mereka juga disebut Generasi Praktis yang mendapatkan informasi
hanya dengan mengakses internet. Media sosial memang menawarkan berbagai
kemudahan yang membuat generasi milenial betah berlama-lama berselancar di
dunia maya. Media sosial juga sangat berpengaruh terhadap karakter remaja yang
cenderung terbentuk karena tuntutan mencapai standar yang “ideal” menurut orang
yang seringkali mereka dapatkan di media social. Karakter yang terbentuk dari
apa yang dikatakan orang dan tidak berasal dari pemikiran sendiri ini menyebabkan
mereka rentan kehilangan jati diri. Oleh karena itu, pemahaman tentang
bagaimana bersikap bijak dalam menggunakan media sosial ini sangat penting
untuk mereka miliki. Pengaruh media sosial bagi generasi milenial sangat baik
dan juga kadang sangat buruk. Kedua dampak tersebut pasti tak lepas dari adanya
media sosial. Jika kamu pengguna media sosial, pasti akan mengikuti tren masa
kini. Sebagai anak penerus bangsa, semakin hari semakin banyak peristiwa yang
terjadi karena kegiatan para milenial yang sangat berbahaya. Banyak tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh aksi remaja. Entah apa yg mereka rasakan pada
saat beraksi. Namun jangan pernah memandang anak di era ini buruk. Masih ada
sisi positifnya.
Media
sosial tentu tidak terelakkan bagi kehidupan manusia. Apalagi di zaman
perkembangan teknologi yang kian canggih ini. Jika saat ini tak menggunakan
media sosial, ibaratnya " makan sayur tanpa garam". Segala informasi
dan peristiwa apapun bisa didapatkan lewat media sosial. Begitu juga tentang
adanya isi hati, pikiran, juga pengakuan jati diri seseorang kepada dunia.
Seakan sudah tidak ada lagi ruang privasi. Namun bagaiamana pandangan Islam
tentang media sosial. Menurut Rasulullah SAW yang digambarkan dalam hadis bahwa
terdapat di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah dzuhurul qalam (tersebarnya pena/ tulisan).
Dari Abu Barzah
Al-Aslami, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Kedua kaki seorang
hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1)
umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya
bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di
manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417,
Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Mengenai perkara tersebut,
kaidah menggunakan media sosial dapat mengantarkan seseorang menuju surga atau
neraka tergantung pada bagaiaman orang yang bersangkutan menggunakannya dengan
bijak sesuai dengan tuntunan agama dan aturan Negara dalam menyikapi maraknya
kejahatan media digital yang sering terjadi belakangan ini.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Islam
adalah agama yang mulia dan mengatur segala aspek kehidupan termasuk pergaulan.
Dalam Islam ada beberapa etika yang harus dipenuhi dan hal ini disebut dengan Etika
Islam. Dengan kata lain etika islami
adalah sistem atau tata cara yang mengatur tingkah laku seseorang terutama
dalam masyarakat. Etika Islam adalah etika yang dilandasi oleh hukum Islam dan
mutlak mengikat semua umat muslim
terutama dalam pergaulan. Rasulullah menganjurkan ummatnya untuk berbuat baik
dalam gerak gerik atau perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari, berakhlak
mulia dalam bertindak melakukan sesuatu. Terutama yang menyangkut hubungan
dengan Allah sebagai pencipta alam semesta termasuk kita sebagai manusia. Media
sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silaturrahmi, menyebarkan
informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan positif di bidang
agama, politik, ekonomi, dan sosial serta budaya. Bermuamalah melalui media sosial
harus dilakukan tanpa melanggar ketentuan agama dan ketentuan peraturan
perundangundangan. Hal yang harus diperhatikan dalam menyikapi konten/informasi
di media sosial, antara lain: a.) Konten/informasi yang berasal dari media
sosial memiliki kemungkinan benar dan salah. b.) Konten/informasi yang baik
belum tentu benar. c.) Konten/informasi yang benar belum tentu bermanfaat. d.) Konten/informasi
yang bermanfaat belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik. e.) Tidak
semua konten/informasi yang benar itu boleh dan pantas disebar ke ranah publik.[35] Setiap
orang yang memperoleh konten/informasi melalui media social (baik yang positif
maupun negatif) tidak boleh langsung menyebarkannya sebelum diverifikasi dan
dilakukan proses tabayyun serta
dipastikan kemanfaatannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Fatwa MUI Nomor. 24 tahun 2017. Tentang Hokum
Dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
Nabillah Nur Syahidah, pengaruh media sosial
di era digital terhadap moralitas anak bangsa, Juni 2019
Koni, S. M. A. (2016). Pengaruh Jejaring
Sosial Terhadap Pendidikan Karakter Peserta Didik. Jurnal Manajemen Pendidikan
Islam.
Abdullah Khozin Afandi, Fenomenologi:
Pemahaman Terhadap Pikiran-Pikiran Edmund Husserl, (Surabaya: eLKAF, 2007).
John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah
Etika, disadur oleh Abdur Munir Mulkhan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2002),
Sardiman A. M., Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar (Jakarta: Rajawali Press, 1990),
Rosif, Dialektika Pendidikan Etika Dalam Islam
(Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih) Jurnal PAI Volume 3 Nomor 2 November 2015
L. T. Takhrudin, Pribadi-Pribadi Yang
Berpengaruh (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1991),
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan
(Jakarta: Aksara Baru, 1984),
Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral: Aspek
Pendidikan yang Terlupakan, terj. Yusuf Maulana, (Yogyakarta: Pustaka Fahima,
2003),
Abd
Haris, Pengantar Etika Islam. (Sidoarjo: Al-Afkar, 2007),
Ahmad Tafsir, Moralitas al-Qur’an dan
Tantangan Modernitas (Yogyakarta: Gama Media, 2002),
Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Bandung: Rineka
Cipta, 1983), 12. Lihat juga H. Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar
Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),
30.
Zakiah Daradjat, Problematika Remaja di
Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. I.
John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah
Etika,
Rosif, Dialektika Pendidikan Etika Dalam
Islam (Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih) Jurnal PAI Volume 3 Nomor 2 November
2015
M. Yatim
Abdullah. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. (Jakarta: Amzah.
2007),
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith (Mesir: Dar
Al-Ma’arif, 1972),
Husein Bahreisj, Ajaran-Ajaran Akhlak.
(Surabaya: Al-Ikhlas. 1981).
Imam
Mujiono, ’et.Al’. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. (Yogyakarta: UII Press
Indonesia. 2002),
Haidar Bagir, Etika Barat, Etika Islam,
Pengantar untuk Amin Abdullah, antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika
Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta:
Kanisius, 1987),
Hamzah Ya’kub , Etika Islami : Pembinaan
Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), (Bandung: CV, Diponegoro, 1983),
Rafik Issa Beekum, Islamic Business Athics
(Pent. Muhammad, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004)
Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat
Islam Moderen, (Yogyakarta:Graha Ilmu, n 2007),
Anggi Rosalia, Etika dan Sistem Pergaulan.
June 13, 2016
Joko Tri Haryanto Tesis, Etika Pemberitaan Politik Dalam Media Massa
Tinjauan Etika Islam. Dikutif 12 desember 2019.
Rama Angriawan, Media Sosial dan Karakter
Generasi Milenial dalam Perkembangan Teknologi, 19 Mei 2019
https://www.kompasiana.com
hendriana1994 5535a1cf6ea834370fda42ef pengaru dasyat media terhadap pembentukan-karakter-remaja.
Astrid, https://blog.sabda.org. pengaruh-sosial-media-dalam-pembentukan-karakter-anak. 2015
[2]
Fatwa MUI Nomor. 24 tahun
2017. Tentang Hokum Dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Hal.1
[4]
Nabillah Nur Syahidah, pengaruh media sosial di era digital
terhadap moralitas anak bangsa, June 2019
[5]
Koni, S. M. A. (2016). Pengaruh Jejaring Sosial Terhadap Pendidikan
Karakter Peserta Didik. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 4(2), 37–43.
[6]
Abdullah Khozin Afandi, Fenomenologi: Pemahaman Terhadap
Pikiran-Pikiran Edmund
Husserl), (Surabaya: eLKAF, 2007), hal. 2
[7] Pernita Hestin Untari, Ditemukan
6.895 Akun Terkait Pelanggaran UU ITE dari 2017-2019. ttps://techno.okezone.com
[8]
https://id.wikipedia.org/wiki/Industri_4.0
[10]
Iffah Al Walidah, Tabayyun di Era Generasi Millenial.
September 2018 https://www.researchgate.net
[11] John P. Miller, Cerdas di
Kelas Sekolah Etika, disadur oleh Abdur Munir Mulkhan, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2002), 22.
[13]
Rosif, Dialektika
Pendidikan Etika Dalam Islam
(Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih) Jurnal PAI Volume 3 Nomor 2 November 2015
Hal. 399
[14] L. T. Takhrudin, Pribadi-Pribadi
Yang Berpengaruh (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1991), 18.
[15] Agus Sujanto, Psikologi
Perkembangan (Jakarta: Aksara Baru, 1984), 191
[16] Miqdad Yaljan, Kecerdasan
Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan, terj. Yusuf Maulana, (Yogyakarta:
Pustaka Fahima, 2003), 99-100.
[18] Ahmad Tafsir, Moralitas
al-Qur’an dan Tantangan Modernitas (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 15.
[19] Hamzah Ya’qub, Etika Islam
(Bandung: Rineka Cipta, 1983), 12. Lihat juga H. Burhanuddin Salam, Etika
Individual Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 30.
[21] John P. Miller, Cerdas di Kelas
Sekolah Etika, 3.
[22] Rosif, Dialektika Pendidikan
Etika Dalam Islam (Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih) Jurnal PAI Volume 3
Nomor 2 November 2015 Hal. 399
[23] M. Yatim Abdullah. Studi Akhlak dalam Perspektif
Al-Qur’an. (Jakarta: Amzah. 2007),
73-74.
[24] Ibrahim Anis, Al-Mu’jam
Al-Wasith (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1972), 202
[25] Husein Bahreisj, Ajaran-Ajaran
Akhlak. (Surabaya: Al-Ikhlas. 1981), 41.
[26] Imam Mujiono, ’et.Al’. Ibadah dan Akhlak dalam
Islam. (Yogyakarta: UII Press Indonesia. 2002), 86.
[27] Haidar Bagir, Etika Barat,
Etika Islam, Pengantar untuk Amin Abdullah, antara Al-Ghazali dan Kant:
Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), 15.
[28]
Franz Magnis-Suseno, Etika
Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 23.
[29] Hamzah Ya’kub , Etika Islami : Pembinaan
Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), (Bandung: CV, Diponegoro, 1983), h. 12.
[30] Rafik Issa Beekum, Islamic
Business Athics (Pent. Muhammad, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004) h. 3.
[31]
Wahyudi Pramono, Etika
Membangun Masyarakat Islam Moderen, (Yogyakarta:Graha Ilmu, n2007),
h.88.
[33] Joko Tri Haryanto Tesis, Etika
Pemberitaan Politik Dalam Media Massa Tinjauan Etika Islam. Dikutif 12 desember 2019. Hal. 146
[34]
Rama Angriawan, Media Sosial dan Karakter Generasi
Milenial dalam Perkembangan Teknologi, 19 Mei 2019
[35] Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang hukum dan pedoman bermuamalah
melalui media social nomor : 24 tahun 2017
Komentar
Posting Komentar