URGENSI ETIKA ISLAM DI ERA DIGITAL



Al-Amse
Budiman Al-Amse 











APENDAHULUAN

.    Latar belakang
Perkembangan teknologi berjalan begitu cepat dan dampaknya ikut memengaruhi pola pikir, perilaku, dan sikap pada generasi masa kini.[1] kemudahan berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui media digital berbasis media sosial dapat mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia, seperti mempererat tali silaturahim, untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan kegiatan positif lainnya.[2] Jika kita berbicara mengenai remaja dan literasi media, maka akan memicu timbulnya isu agar kita terus mengikuti perkembangannya, bahkan menarik untuk dilihat secara nyata. Jaman sekarang remaja, jika mereka tidak dapat memanfaatkan media sosial yang ada, akan dianggap sebagai remaja yang ketinggalan jaman. Sehingga akan muncul dorongan, bagamana caranya agar mereka bisa memainkan program yang ada dalam media sosial pada umumnya. Dan untuk mewujudkan itu semua sangatlah gampang. Teknologi informasi yang paling banyak digunakan masyarakat adalah media sosial. Berbagai kegiatan menjadi mudah karena hadirnya media sosial di dalam kehidupan kita. Tapi sayang, kenyataannya malah berbalik. Nyatanya sekarang ini banyak ditemukan orang yang lebih peduli dengan baterai smartphonenya dibanding dengan lingkungan sekitar. Hal ini terbukti dengan adanya handphone, internet, majalah remaja, dan televisi yang dapat menunjang apa yang menjadi kemauan mereka saat ini. Hal ini juga terkadang remaja merasa gengsi dan tidak gaul jika mereka tidak mampu bergabung dalam media sosial seperti facebook, instagram, twitter, youtube dan lain sebagainya yang akan membuat mereka terhubung dengan kehidupan global. Sehingga apabila remaja-remaja tersebut asik dengan kegiatan individual mereka di depan media-media sosial maka yang akan terjadi mereka akan kurang berintraksi dengan orang tua, keluarga, kerabat bahkan teman-teman yang berada di lingkungan itu sendiri. Remaja akan asik dengan teman-teman yang ada di dunia maya. Teman yang terkadang kita tidak pernah melihatnya. Tetapi banyak yang tidak menyadari hal tersebut. Yang mereka banggakan adalah mereka bisa kenal dan berteman dengan orang-orang yang berada di luar sana, sehingga akan membuat intraksi dengan teman sebaya yang selalu berada di sekitarnya, lambat laun akan dilupakan.[3] Perilaku  atau  karakteristik  Generasi  milenial di  setiap  daerah  di Indonesia,  pasti  memiliki perbedaan karateristik. Namun secara keseluruhan, bahwa generasi Milenial sangat terbuka pola komunikasinya  dibandingkan  generasi-generasi  sebelumnya.  Mereka juga  pemakai  media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi. Contohnya tentang pandangan politik dan ekonomi pikiran mereka lebih terbuka sehingga mereka  dapat  lebih reaktif  atau responsif terhadap perubahan  lingkungan yang  terjadi  di  sekelilingnya.[4]
Pengaruh  positif  maupun  negatif  timbul  seiring  munculnya  berbagai  macam  media sosial. Pengaruh positif dan negatifnya tergantung bagaimana setiap orang menggunakan dan menyikapi media sosial tersebut. Namun dewasa ini, banyak sekali penyimpangan moral yang dilakukan oleh  remaja khususnya dalam bermedia sosial. Belum  sempurnanya kematangan pemikiran remaja membawa  pengaruh  negatif  terhadap informasi  yang tidak baik  melalui media  sosial.  Media  sosial  menjadi  wadah  bagi  remaja  untuk  menuangkan  kebebasan berekspresi, baik itu bentuk gambar ataupun pesan-pesan. Sekarang ini terbilang sangat mudah bila seseorang ingin membuat akun sosial media. Kalangan remaja biasanya suka memposting aktivitas pribadinya, foto-foto dan curhatannya. Semakin aktif seorang remaja di media sosial maka mereka semakin terlihat gaul dan keren di kalangan  mereka.  Namun  kalangan  remaja  yang  gaptek  alias  gagap  teknologi  di  anggap ketinggalan  jaman  dan  kurang  gaul.  Jejaring  sosial  menghapus  batasan-batasan  dalam bersosialisasi.  Dalam  jejaring  sosial  tidak  ada  batasan  ruang  dan  waktu,  mereka  dapat berkomunikasi  kapanpun  dan  dimanapun  mereka  berada.  Tidak  dapat  dipungkiri  bahwa jejaring sosial mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Seseorang yang asalnya kecil bisa menjadi besar dengan jejaring sosial, begitu pula sebaliknya. Etika dalam bermedia sosial menjadi hal yang sangat penting. Diadakannya pelatihan mengenai etika dalam bermedia sosial dirasa cukup penting meskipun hal tersebut masih tabu untuk dilakukan. Kemerosotan moral anak bangsa diperparah dengan tidak bijaknya dalam menggunakan media sosial. Remaja masa kini dapat menyebarkan dan mendapatkan informasi dengan cepat dan mudah hanya dengan menggunakan media sosial. Terlebih lagi di media  sosial  tidak  ada  filter  informasi  negatif  yang  dapat  dengan  mudah  dikonsumsi penggunanya. Hal ini yang membuat moral anak bangsa cenderung buruk karena mereka dapat meniru informasi negatif yang tidak seharusnya mereka dapatkan dengan bebas.[5]
Dalam menerima informasi media massa atau yang lebih cenderung pada media sosial masa kini, masyarakat sangat mudah percaya dan mudah dipengaruhi tentang informasi yang telah menyebar. Pikiran manusia yang bebas seakan-akan terarah dalam satu masalah yang belum tentu kebenaran. Kebebasan dalam berfikir dan menerima informasi, masyarakat seakan-akan hanya mengambil kesimpulan dan persepsi dari apa yang sudah di sediakan media. Kebebasan merupakan salah satu aspek dalam masyarakat untuk mengembangkan potensi atau informasi yang mereka terima. Dalam bahasa agama, kebebasan adalah fitrah yang seja lahir menjadi karakteristik potensial yang dapat berkembang, dan untuk itu Allah meletakan kebebasan pada diri setiap manusia sebagai tanda eksistensinya.[6] Namun pengguna media sosial seringkali menerima dan menyebarkan informasi yang belum tentu benar serta bermanfaat, bisa karena sengaja atau ketidaktahuan, yang bisa menimbulkan mafsadah di tengah masyarakat; serta penggunaan media digital, khususnya yang berbasis media sosial di tengah masyarakat seringkali tidak disertai dengan tanggung jawab sehingga tidak jarang menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax¸ fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial. Selain itu juga bahwa menurut bahwa ada ribuan kasus pelanggaran UU ITE dari tahun 2017 hingga 2019. ada sekitar 6.895 akun yang dirinci sebagai berikut, yakni pada 2017 terdapat 1.338 akun, 2018 ada 2.552, dan pada 2019 terdapat 3.005 kasus. Akun-akun tersebut diselidiki dan ditengarai melakukan tindak pidana yang dilakukan dengan media sosial.[7]


PEMBAHASAN

B.     Industry 4.0 dan Kaum Milenial
Secara singkat, pengertian industri 4.0 adalah tren di dunia industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber. Tren ini telah mengubah banyak bidang kehidupan manusia, termasuk ekonomi, dunia kerja, bahkan gaya hidup manusia itu sendiri. Singkatnya, revolusi 4.0 menanamkan teknologi cerdas yang dapat terhubung dengan berbagai bidang kehidupan manusia.
Revolusi industri 4.0 memiliki empat prinsip yang memungkinkan setiap perusahaan untuk mengidentifikasi dan mengimplementasikan berbagai skenario industri 4.0, diantaranya adalah:
1.   Interoperabilitas (kesesuaian); kemampuan mesin, perangkat, sensor, dan manusia untuk terhubung dan saling berkomunikasi satu sama lain melalui media internet untuk segalanya (IoT) atau internet untuk khalayak (IoT).
2.   Transparansi Informasi; kemampuan sistem informasi untuk menciptakan salinan dunia fisik secara virtual dengan memperkaya model pabrik digital dengan data sensor.
3.   Bantuan Teknis; pertama kemampuan sistem bantuan untuk membantu manusia mengumpulkan data dan membuat visualisasi agar dapat membuat keputusan yang bijak. Kedua, kemampuan sistem siber-fisik untuk membantu manusia melakukan berbagai tugas yang berat, tidak menyenangkan, atau tidak aman bagi manusia.
4.   Keputusan Mandiri; kemampuan sistem siber-fisik untuk membuat keputusan dan melakukan tugas semandiri mungkin.
Revolusi industri 4.0 akan membawa banyak perubahan dengan segala konsekuensinya, industri akan semakin kompak dan efisien. Namun ada pula risiko yang mungkin muncul, misalnya berkurangnya Sumber Daya Manusia karena digantikan oleh mesin atau robot. Dunia saat ini memang tengah mencermati revolusi industri 4.0 ini secara saksama. Berjuta peluang ada di situ, tapi di sisi lain terdapat berjuta tantangan yang harus dihadapi. Apa sesungguhnya revolusi industri 4.0? Prof. Klaus Martin Schwab, teknisi dan ekonom Jerman, yang juga pendiri dan Executive Chairman World Economic Forum, yang pertama kali memperkenalkannya. Dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution (2017), ia menyebutkan bahwa saat ini kita berada pada awal sebuah revolusi yang secara fundamental mengubah cara hidup, bekerja dan berhubungan satu sama lain.
Teknologi digital dan internet mulai dikenal pada akhir era ini. Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya Internet of/for Things, kehadirannya begitu cepat. Banyak hal yang tak terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba muncul dan menjadi inovasi baru, serta membuka lahan bisnis yang sangat besar. Munculnya transportasi dengan sistem ride-sharing seperti Go-jek, Uber, dan Grab. Kehadiran revolusi industri 4.0 memang menghadirkan usaha baru, lapangan kerja baru, profesi baru yang tak terpikirkan sebelumnya.[8] Revolusi Industri merupakan titik balik dalam sejarah yang ditandai dengan perubahan secara besar- besaran di berbagai bidang. Sebagai contoh bidang pertanian,pertambangan, transportasi, manufaktur dan teknologi. Selain itu revolusi industri mempunyai dampak yang signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya di dunia. Dengan transformasi yang sangat cepat tersebut maka responnya harus terintegrasi dan komprehensif, yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan dari pemerintahan global, sektor publik dan swasta hingga akademisi dan masyarakat luas.[9]
Millennial  adalah  istilah  cohort  dalam  demografi,  merupakan kata benda  yang berarti pengikut  atau kelompok.  Saat ini  ada empat cohort besar dalam demografi, yaitu Baby Boomer (lahir pada tahun 1946-1964), Gen-X (lahir pada tahun 1965-1980), Millennial (lahir pada tahun 1981-2000),  dan  Gen-Z  (lahir  pada  tahun  2001-sekarang).  Dalam literatur lain, Menurut Absher dan Amidjaya bahwa generasi millennial merupakan generasi yang lahirnya berkisar antara 1982 sampai dengan 2002, selisih yang tidak terlalu signifikan. Generasi  dalam  era  millennial ini  seperti:  google  generation,  net generation,  echo  boomers,  dan  dumbest  generation.  Oleh  karena  itu, masyarakat generasi millennial itu bisa ditandai dengan meningkatnya penggunaan  alat  komunikasi,  media  dan  teknologi  informasi  yang digunakan. Misalnya: internet, MP3 player, youtube, facebook, instagram dan lain sebagainya. Generasi millennial merupakan  inovator, karena mereka mencari, belajar dan bekerja di dalam lingkungan inovasi yang sangat mengandalkan teknologi untuk melakukan perubahan di dalam berbagai aspek kehidupannya. Hasanuddin  Ali  dan  Lilik  Purwandi  menyimpulkan  bahwa masyarakat Urban Middle-Class Millennial memiliki tiga karakter utama, yaitu 3C; connected, creative, dan confidence. Pertama, connected. Generasi millennial  adalah  pribadi  yang  pandai  bersosialisasi,  terutama  dalam komunitas yang mereka  ikuti serta berkelana di  media sosial. Kedua, creative. Mereka  adalah orang  yang biasa  berpikir  out of  the box,  kaya akan  ide  dan  gagasan  serta  mampu  mengomunikasikannya  secara cemerlang yang dibuktikan dengan tumbuhnya industri yang dimotori oleh  anak  muda.  Ketiga,  confidence.  Mereka  merupakan  orang  yang percaya  diri,  berani  mengungkapkan  pendapat,  serta  tidak  sungkan berdebat  di  depan publik,  seperti  yang  terjadi  di  media  sosial.[10]
C.    Urgensi Etika Islam Di Era Industry 4.0
Sejarah kehidupan manusia, belum pernah menunjukkan bukti akan adanya manusia yang bentuk fisiknya bercitra sama walaupun lahir secara kembar. Selalu bisa dikenali suatu ciri khas sebagai penanda seseorang berbeda dari yang lain. Kepentingan dan tujuan ideal hidup manusia bisa sama, namun detail dan nilai keduanya akan berbeda bagi setiap orang. Manusia adalah makhluk paling unik yang selalu ingin menunjukkan keunikan dari personalnya. Dalam pengertian seperti itu keunikan merupakan akar keberadaan dan kebutuhan manusia untuk berkomunikasi, sekaligus sebagai cara manusia menunjukkan kehadiran diri personalnya. etika dalam upaya mendatangkan perubahan individu secara integral mencakup sifat dan fisiknya melalui pengajaran dan latihan. Karena itu, penting menyadari kembali makna pendidikan sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif.[11] Pemanusiawian manusia, berarti ingin menempatkan manusia ini sesuai dengan proporsi dan hakekat kemanusiannya. Agar manusia menemukan kediriannya, agar setiap individu itu menyadari dan memahami “siapa dia”, konsepsi seperti ini sangat penting sebagai landasan filosofis dan dasar motivasi untuk melakukan aktivitas belajar–mengajar, sebab manusia belajar harus juga terarah pada pembentukan diri manusia agar dapat menemukan kemanusiaan dan makhluk sosial serta makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.[12]
Manusia telah diciptakan Tuhan berbeda dengan makhluk lainnya, ia mempunyai etika tersendiri, yaitu etika sebagai makhluk yang paling mulia. Jika melihat wujud jasmaninya maka dapat dikatakan bahwa manusia itu sama, akan tetapi tidak demikian dengan etikanya, manusia yang satu dengan yang lain memiliki sifat-sifat pribadi yang berbeda.[13] L.T. Takhrudin dalam bukunya pribadi-pribadi yang berpengaruh, menyatakan kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan di atas yaitu bahwa: Pribadi-pribadi yang kurang baiklah yang menimbulkan suasana yang kurang aman, kurang tentram serta selalu menimbulkan bencana dan huru hara dimana-mana. Kebanyakan orang memiliki etika lemah, seperti kita lihat sendiri, banyak orang yang bersikap pengecut, menyendiri, ragu-ragu dalam mengambil keputusan, pesimis dan sebagainya. Bahkan ada yang lebih lemah etikanya daripada itu, banyak diantara mereka yang menarik diri dari pergaulan karena selalu berfikir negatif, apriori, malas dan sebagainya. Banyak pula yang kompensasi, seperti banyak mengkritik, menghina dan mencaci maki, atau berpura-pura baik dan sopan yang dibuat-buat.[14]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlaq (moral).[15]  Menurut Bertens, etika biasa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam arti ini etika bersifat relatif di dalam suatu wilayah/ daerah.[16]
Secara etimologis kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos, ethos yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan  yang baik. Kata “etika” dibedakan dengan kata “etik” dan “etiket”. Kata etik berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau  nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau  masyarakat. Adapun kata etiket berarti tata cara atau adat, sopan santun dan lain sebagainya dalam masyarakat beradaban dalam memelihara hubungan baik sesama manusia.[17] Sedangkan secara terminologis etika berarti pengetahuan yang membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkanoleh akal manusia. Seperti halnya akhlak, secara etimologi etika juga memiliki maknayang sama dengan moral. Tetapi, secara terminologi dalam posisi tertentu, etika memiliki makna yang berbeda dengan moral. Sebab, etika memiliki tiga (3) posisi, yakni sebagai sistem nilai, kode etika, dan filsafat moral.[18] Etika sebagai sistem nilai berarti nilai-nilai dan norma norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau komunitas dalam mengatur tingkah lakunya. Etika merupakan ilmu yang menyelidiki perbuatan atau tingkahlaku manusia mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan sejauh yang diketahui oleh akal pikiran.[19] Dari pengertian mengenai etika atau personality itu dinamis, tidak statis atau tetap saja tanpa perubahan. Ia menunjukkan tingkah laku yang terintegrasi dan merupakan interaksi antara kesanggupan-kesanggupan bawaan yang ada pada individu dengan lingkungannya.  yang berarti baik faktor jasmaniah maupun rohaniah individu itu bersama-sama memegang seseorang sifatnya khas mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan individu lain.
Konsep pendidikan etika dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting, sehingga hampir setiap kehidupan manusia tak pernah lepas dari etik. Pendidikan etika yang bermuara pada akhlak adalah tema sentral bagi pelaksanaan pendidikan, karena pendidikan akhlak ini merupakan asas dasar bagi manusia untuk berinteraksi dengan Sang Pencipta ( ha b l u n m i n a llah) maupun dengan sesama manusia (hablun min al-nas).  Kepribadian seseorang bertumbuh dan terbentuk dalam kelompok, anak sejak kecilnya membutuhkan sekelompok orang yang memperhatikannya. Semakin besar si anak, semakin bertambah kebutuhannya untuk bergabung dengan kelompok yang berada di luar keluarga dan semakin bertambah luas pergaulan itu memunculkan persoalan-persoalan akibat perbedaan pembinaan kelompok itu dan berlainan tingkat budaya, ekonomi dan sosial masing-masing.[20] Kita mengetahui bahwa di dalam pendidikan terdapat 3 ranah yang dikembangkan yaitu: kecerdasan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan etika (afekif), dua yang pertama nampak lebih dipentingkan dalam praktek pendidikan. Sementara ranah etika seringkali kurang memperoleh perhatian sewajarnya. Hal ini disebabkan pandangan yang kurang seorang kecerdasan manusia hanya berhubungan dengan otaknya, sehingga memunculkan teori tentang cara mengukur kecerdasan otak yang dikenal dengan IQ. Dunia pendidikan selam ini kurang menaruh perhatian pada pertumbuhan pribadi anak yang sering dibiarkan tumbuh alamiah. Padahal, hanya dengan memiliki IQ tinggi tanpa EQ dan SQ yang memadai justru membuat seseorang lebih berbahaya karena mudah melakukan kejahatan profesional. Disinilah pendidikan etika bertujuan mengembangkan kedua aspek yang sering terlupakan, yaitu kecerdasan emosional dan spiritual yang bertumpu pada masalah diri.[21] Tujuan pendidikan etika pada intinya adalah menumbuhkan pribadi yang sadar diri, bertanggung jawab, sadar lingkungannya, yang peka terhadap hubungan sosial dan pribadi yang shaleh, beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu dengan pendidikan ini pula diharapkan akan muncul pribadi yang secara kreatif mampu mencari penyelesaian atas persoalan yang dihadapinya. Inilah yang dimaksud dengan kecerdasan atau kepintaran kreatif dan etika yang bertanggung jawab.[22]
Sedangkan “Akhlak", secara etimologi istilah yang diambil dari bahasa arab dalam bentuk jamak. Al-Khulq merupakan bentuk mufrod  (tunggal) dari Akhlak yang memiliki arti kebiasaan, perangai, tabiat, budi pekerti. Tingkah laku yang telah menjadi kebiasan dan timbul dari dari manusia dengan sengaja. Kata akhlak dalam pengertian ini disebutkan dalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal. Kata khulq dalam firman Allah SWT merupakan pemberian kepada Muhammad sebagai bentuk pengangkatan menjadi Rasul Allah”.[23]
Secara etimologi kedua istilah akhlak dan etika mempunyai  kesamaan makna yaitu kebiasaan dengan baik dan buruk sebagai nilai kontrol. Selanjutnya Untuk mendapatkan rumusan pengertian akhlak dan  etika dari sudut terminologi, ada beberapa istilah yang dapat dikumpulkan. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘ulumiddin, menyatakan bahwa, “Khuluk yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong lairnya perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa pertimbangan dan pemikiran yang mendalam.”[24]
Al-Ghazali berpendapat bahwa adanya perubahan-perubahan akhlak bagi seseorang adalah sifat , misalnya dari sifat kasar kepada sifat kasian. Disini Imam Al-Ghazali membenarkan adanya perubahan-perubahan keadaan terhadap beberapa ciptaan Allah, kecuali apa yang menjadi ketetapan Allah seperti langit dan bintang-bintang. Sedangkan pada keadaan yang lain seperti pada diri sendiri dapat diadakan kesempurnaannya melalui jalan pendidikan. Menghilangkan nafsu dan kemarahan dari muka bumi sungguh tidaklah mungkin namun untuk meminimalisir keduanya sungguh menjadi hal yang mungkin dengan jalan menjinakkan nafsu melalui beberapa latihan rohani .[25] Sementara Ibnu Maskawaih dalam kitab tahdzibul Akhlak menyatakan bahwa :“Khuluk ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran”. Selanjutnya Ibnu Maskawaih menjelaskan bahwa keadaan gerak jiwa dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, bersifat alamiah dan bertolak dari watak seperti marah dan tertawa karena hal yang sepele. Kedua, tercipta melalui kebiasaan atau latihan.[26]
Haidar bagir menyamakan ahklak dengan moral, yang lebih merupakan suatu nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia. Sedangkan etika merupakan ilmu dari akhlak atau dapat dikatakan etika adalah ilmu yang mepelajari perihal baik dan buruk.[27]
Pembahasan masalah etika, mengambil objek material perilaku atau perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar. Dengan demikian maka etika harus melihat manusia sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan untuk berbuat dan bertindak sekaligus bertanggung jawab terhadap perbuatan dan tindakan yang dilakukannya. Etika merupakan suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatanalam dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi. Sedangkan tanggung jawab dapat dipertanggungjawabkan atau dapat dituntut apabila ada kebebasan. Dengan demikian, masalah kebebasan dan tanggung jawab dalam etika merupakan sebuah keniscayaan. Kebebasan bagi manusia pertama-tama berarti, bahwa ia dapat menentukan apa yang mau dilakukannya secara fisik. Ia dapat menggerakkan anggota tubuhnya sesuai dengan kehendaknya, tentu dalam batas-batas kodratnya sebagai manusia. Jadi kemampuan untuk menggerakkan tubuhnya memang tidak terbatas. Kebebasan manusia bukan sesuatu yang abstrak, melainkan konkret, sesuai dengan sifat kemanusiaannya.[28]
Aristoteles mendefinisikan etika sebagai suatu kumpulan aturan yang harusdipatuhi oleh manusia.[29] Segi perbedaannya etika menentukan baik buruknya manusia dengan tolak ukur akal pikiran. Sedangkan akhlak dengan menetukannya dengan tolak ukur ajaran agama (al-Quran dan al-Sunnah).[30] Sementara dalam bahasa arab etika dikenal juga sebagai akhlak yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Sedangkan secara istilah ada beberapa pengertian tentang etika itu sendiri seperti Menurut Hamzah Ya’kub etika adalah ilmu tingkah laku manusia yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan tindakan moral yang betul , atau tepatnya etika adalah ilmu yang menyelidiki mana  baik dan mana yang buruk.
Menurut Amin etika/akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya. Menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat9. Ajaran etika berpedoman pada kebaikan dari suatu perbuatan yang dapat dilihat dari sumbangasihnya dalam menciptakan kebaikan hidup sesama manusia, baik buruknya perbuatan seseorang dapat dilihat berdasarkan besar kecilnya dia memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan seseorang, maka yang menjadi tolak ukur adalah akal pikiran. Selain etika ada juga yang dapat menentukan suatu perbuatan baik atau buruk yaitu akhlak. Namun dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan yang menjadi tolak ukur dalam akhlak yaitu al-Quran dan al-Sunnah.[31] Islam adalah agama yang mulia dan mengatur segala aspek kehidupan termasuk pergaulan. Dalam islam ada beberapa etika yang harus dipenuhi dan hal ini disebut dengan etika Islam. Secara bahasa kata etika berasal dari kata ethokos (Yunani) atau ethos yang memiliki arti karakter, kebiasaan, kecenderungan dan penggunaan. Kata etika itu sendiri juga cenderung identik dengan kata dalam bahasa latin mos yang artinya adat atau tata cara kehidupan. Dengan kata lain etika islami adalah sistem atau tata cara yang mengatur tingkah laku seseorang terutama dalam masyarakat. Etika islam adalah etika yang dilandasi oleh hukum islam dan mutlak mengikat semua umat muslim terutama dalam pergaulan. Pokok dasar etika islam tercantum dalam alqur’an seperti firman Allah dalam surat Al qalam ayat 4 dan Ali Imran ayat 104 yang bunyinya.[32]
”Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”. (Al Qalam ; 4)
”Hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebaikan (al-khair) menyerukan kepada ma’ruf (yang baik) dan melarang dari perbuatan munkar dan itulah orangorang yang bahagia” (Q.S. Ali-Imran: 104)
D.    Dampak Media Dalam Pembentukan Etika
Dalam wacana kritis, dipahami bahwa media bukan lembaga yang muncul dari ruang hampa, oleh sebab itu teks pemberitaan yang dihasilkan juga sudah pasti tidak akan lepas dari interaksi, bahkan kompromi dengan situasi situasi tertentu. Maka tuntutan terhadap prinsip kebenaran dan keadilan di sini adalah tuntutan agar  media cetak berpihak atas dasar hati nuraninya dan tidak memihak dalam peristiwa konflik.  Demikian juga media tidak mungkin dalam penulisan teks pemberitaannya tidak melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta yang didapat di lapangan, tetapi tuntutannya dalam prinsip ini adalah tidak melakukan penafsiran yang mengandung penghakiman (judgmental opinion), tetapi cukup melakukan penafsiran (interpretative) berdasarkan data-data yang tersedia tanpa penghakiman tertentu. Terlebih bahwa secara religius, teks pemberitaan sebagai bentuk pengungkapan-pengungkapan bahasa dalam  masyarakat memiliki kewajiban transendental untuk  tidak menimbulkan kerusakan, ataupun yang secara moral dipandang rendah seperti mengumpat (caci maki), mengolok-olok (black campaign), fitnah dan sikap yang membeda-bedakan atau tidak adil terhadap pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam  peristiwa.  Penilaian terhadap media sebenarnya adalah penilaian terhadap orangorang yang menjadi pelaku media. Media massa hanyalah peralatan yang dipergunakan oleh para pelakunya untuk bertindak dan bersikap. Sikap media dan perilaku media hakikatnya adalah hasil dari kompromi para pelakunya, apakah ia akan menjadi baik atau menjadi buruk tergantung dari apa yang pelaku media lakukan terhadap media massa tersebut. The man behind the media. Para pelaku inilah yang menjadi “jiwa penggerak” bagi media, dan di dalam diri para pelaku ada jiwa yang sesungguhnya, jiwa yang menggerakkan  jiwa pengerak. Teks pemberitaan hanya “jejak” dari  keyakinan, idelogi dan perilaku pada pelakunya. Sebagaimana diungkapkan oleh David Hume: Sebuah tindakan tidak  memiliki moral dalam dirinya sendiri; untuk mempelajari nilai moral manusia kita harus melihat ke dalam. Karena kita tidak bisa melakukannya secara langsung, kita memberi perhatian kepada tindakan; tetapi tindakan  hanyalah sebuah jejak dari keinginan  batin, dan karenanya sebuah dugaan atas moral.
Hal paling penting dalam etika, termasuk dalam etika pemberitaan ini dalam tinjauan Islam adalah kesadaran moral yang berangkat dari dalam diri, bertolak dari kondisi jiwa yang terbentuk menjadi mentalitas etika. Bisa saja, seseorang berbuat “baik” dalam pengertian tidak melanggar norma masyarakat, tetapi sikap itu bisa jadi hanya berupa sebuah “disiplin sosial” yang dilakukan degan pertimbangan-pertimbangan keuntungan-keuntungan atau kepentingan tertentu yang sekular.  Hal ini akan berbeda dengan sikap yang muncul dari dalam jiwa, ia akan hadir dalam kondisi bagaimanapun dan menuntut untuk dilaksanakan, terlepas   dalam kesaksian orang lain maupun tidak, karena kesaksian bagi jiwa cukup diyakini selalu hadir dari Tuhan yang Maha Mengetahui (muraqabah).  Kepribadian manusia terletak pada akhlak sebagai gerak jiwa yang mengakibatkan terwujudnya perbuatan seseorang dengan mudah.  Perilaku lahiriah ini tidak lain merupakan ekspresi dari bisikan-bisikan dalam hati (alQalb),  hati inilah yang menjadi kendali bagi semua perbuatan, tidak ada suatu perbuatan yang dilakukan kecuali  sebagai tanda-tanda dari hati. Hati yang sehat baik dan luhur akan menghasilkan perbuatan yang baik dan mulia, sebaliknya hati yang rusak dan jahil akan menghasilkan perbuatan-perbuatan yang buruk. Penilaian moral dengan demikian harus ditujukan kepada kondisi hati ini;
Allah tidak memandang bentuk kalian melainkan memandang hati  dan perbuatan kalian. (Al-Hadits)
Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan apa yang dilakukan oleh hatimu. (QS.AlBaqarah : 225)
 Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan seseorang melainkan di dekatnya ada malaikat Raqib (pencatat kebaikan) dan malaikat Atid (pencatat keburukan) (QS. Qaf : 18)
Dengan demikian para pelaku media cetak di dalam ruang redaksi (wartawan, redaktur, editor, dan pemilik media) semestinya menjadi “jiwa” yang sehat, baik dan luhur bagi perkembangan medianya, sehingga wacana yang diproduksi melalui pemberitaan-pemberitaan di media cetaknya ini dapat mewujudkan pemberitaan yang bernilai etika.  Tarik ulur kepentingan dan situasi sosial politik bahkan ekonomi yang melingkupi proses produksi pemberitaan  harus mendapatkan pertimbangan dari hati nurani, sehingga keputusan untuk  beropini, berinterpretasi, bahkan berpihak pada situasi tertentu bukan diputuskan dengan pertimbangan kepentingan ekonomi atau politis sesaat,  atau kecenderungan naluri rendah, melainkan  didasarkan pada pertimbangan etika, tanggungjawab dan keadilan dan kebenaran sehingga melahirkan media massa yang berkarakter, berkepribadian dan bermoral.
Pemberitaan politik sangat penting dalam konteks masyarakat, karena dimensi politik  berhubungan erat dengan masyarakat secara keseluruhan. Kehidupan bermasyarakat secara luasnya berbangsa dan bernegara membentuk sistem kewenangan yang mengatur hubungan-hubungan antar anggota-anggota di dalamnya. Oleh karena itu secara sederhananya, politik dihubungkan dengan struktur-struktur dan pranata-pranata   yang memiliki kewenangan kekuasaan untuk mengatur bagaimana personal-personal masyarakat berbuat dan bertindak dalam kehidupan bersama. Adanya kekuasaan dalam kewenangan sebagai hak dan kewajiban suatu struktur tertentu sangat menarik pihak-pihak tertentu untuk memperolehnya. Jika preferensi yang diperoleh  tidak benar, tidak akurat dan tidak lengkap maka keputusan yang diambilpun akan salah atau tidak tepat sehingga dapat menimbulkan kekecewaan, penyesalan, bahkan kesengsaraan atau penderitaan. Namun sebaliknya jika preferensi yang diperoleh benar, akurat dan lengkap, maka pertimbangannya dalam melakukan sesuatu menjadi benar sehingga perbuatannya akan tepat, cermat, dan benar sehingga akan mendatangkan kebahagiaan.
Kehidupan beragama di Indonesia yang cukup kuat, memiliki potensi besar dalam pembinaan jiwa dan rasa kemanusiaan.  Pengalaman keberagamaan menjadi dasar bagus untuk membentuk kesadaran religius yang dapat ditransformasikan dalam perilaku sosial.  Ajaran-ajaran agama seperti  penghayatan bahwa Tuhan Maha Melihat semua perbuatan manusia, perbuatan baik akan mendapatkan pahala, dan perbuatan buruk akan mendapatkan balasan  keburukan, agama membawa rasa cinta dan damai akan menumbuhkan sikap  merasa diawasi, dorongan berbuat kebaikan, motif ridla dan ikhlas, dan sebagainya.  Moralitas personal dibangun kesadaran-kesadaran semacam ini, yang memunculkan kekuatan suara hati dan hati nurani.  Pengetahuan baik dan buruk menjadi kesadaran yang terintegral antara tugas-tugas kejurnalistikan dengan penghayatan terhadap nilai baik dan buruk.  Praktek-praktek jurnalisme dalam pemberitaan politik menjadi aktualisasi dari  sikap jiwa yang terbina oleh kesadaran religius.[33]
E.     Penggunaan Media Sosial Bagi Kaum Milenial
Pengaruh media sosial terhadap generasi milenial di Indonesia sangat kuat. Dengan adanya generasi ini, banyak masyarakat yang tidak punya etika bermedia sosial. Peran generasi milenial dalam perkembangan teknologi mampu menimbulkan dampak negatif dan positif.[34] Di era modern saat ini media sosial (medsos) telah menjadi kebutuhan penting. perkembangan internet yang demikian pesat membuat hampir semua orang memiliki ruang digital. Terutama bagi mereka yang hidup di kota, berbagai sarana dan prasarana pendukung yang ada semakin memudahkan mereka untuk eksis di dunia maya ini. Kaum milenial menjadi generasi yang memiliki eksistensi tinggi di dunia medsos. Sebutan milenial ini ditujukan untuk mereka yang lahir tahun 2000-an ke atas. Di tahun-tahun inilah perkembangan teknologi demikian pesat sehingga karakter generasi milenial yang lahir dan tumbuh di tahun-tahun ini dibesarkan dengan akses informasi dan komunikasi yang demikian terbuka. Oleh karena itu, mereka juga disebut Generasi Praktis yang mendapatkan informasi hanya dengan mengakses internet. Media sosial memang menawarkan berbagai kemudahan yang membuat generasi milenial betah berlama-lama berselancar di dunia maya. Media sosial juga sangat berpengaruh terhadap karakter remaja yang cenderung terbentuk karena tuntutan mencapai standar yang “ideal” menurut orang yang seringkali mereka dapatkan di media social. Karakter yang terbentuk dari apa yang dikatakan orang dan tidak berasal dari pemikiran sendiri ini menyebabkan mereka rentan kehilangan jati diri. Oleh karena itu, pemahaman tentang bagaimana bersikap bijak dalam menggunakan media sosial ini sangat penting untuk mereka miliki. Pengaruh media sosial bagi generasi milenial sangat baik dan juga kadang sangat buruk. Kedua dampak tersebut pasti tak lepas dari adanya media sosial. Jika kamu pengguna media sosial, pasti akan mengikuti tren masa kini. Sebagai anak penerus bangsa, semakin hari semakin banyak peristiwa yang terjadi karena kegiatan para milenial yang sangat berbahaya. Banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aksi remaja. Entah apa yg mereka rasakan pada saat beraksi. Namun jangan pernah memandang anak di era ini buruk. Masih ada sisi positifnya.
Media sosial tentu tidak terelakkan bagi kehidupan manusia. Apalagi di zaman perkembangan teknologi yang kian canggih ini. Jika saat ini tak menggunakan media sosial, ibaratnya " makan sayur tanpa garam". Segala informasi dan peristiwa apapun bisa didapatkan lewat media sosial. Begitu juga tentang adanya isi hati, pikiran, juga pengakuan jati diri seseorang kepada dunia. Seakan sudah tidak ada lagi ruang privasi. Namun bagaiamana pandangan Islam tentang media sosial. Menurut Rasulullah SAW yang digambarkan dalam hadis bahwa terdapat di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah dzuhurul qalam (tersebarnya pena/ tulisan).
Dari Abu Barzah Al-Aslami, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417,
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Mengenai perkara tersebut, kaidah menggunakan media sosial dapat mengantarkan seseorang menuju surga atau neraka tergantung pada bagaiaman orang yang bersangkutan menggunakannya dengan bijak sesuai dengan tuntunan agama dan aturan Negara dalam menyikapi maraknya kejahatan media digital yang sering terjadi belakangan ini.


PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Islam adalah agama yang mulia dan mengatur segala aspek kehidupan termasuk pergaulan. Dalam Islam ada beberapa etika yang harus dipenuhi dan hal ini disebut dengan Etika Islam.  Dengan kata lain etika islami adalah sistem atau tata cara yang mengatur tingkah laku seseorang terutama dalam masyarakat. Etika Islam adalah etika yang dilandasi oleh hukum Islam dan mutlak mengikat semua umat muslim terutama dalam pergaulan. Rasulullah menganjurkan ummatnya untuk berbuat baik dalam gerak gerik atau perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari, berakhlak mulia dalam bertindak melakukan sesuatu. Terutama yang menyangkut hubungan dengan Allah sebagai pencipta alam semesta termasuk kita sebagai manusia. Media sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silaturrahmi, menyebarkan informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan positif di bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial serta budaya. Bermuamalah melalui media sosial harus dilakukan tanpa melanggar ketentuan agama dan ketentuan peraturan perundangundangan. Hal yang harus diperhatikan dalam menyikapi konten/informasi di media sosial, antara lain: a.) Konten/informasi yang berasal dari media sosial memiliki kemungkinan benar dan salah. b.) Konten/informasi yang baik belum tentu benar. c.) Konten/informasi yang benar belum tentu bermanfaat. d.) Konten/informasi yang bermanfaat belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik. e.) Tidak semua konten/informasi yang benar itu boleh dan pantas disebar ke ranah publik.[35] Setiap orang yang memperoleh konten/informasi melalui media social (baik yang positif maupun negatif) tidak boleh langsung menyebarkannya sebelum diverifikasi dan dilakukan proses tabayyun serta dipastikan kemanfaatannya.

DAFTAR PUSTAKA

  Fatwa MUI Nomor. 24 tahun 2017. Tentang Hokum Dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
  Nabillah Nur Syahidah, pengaruh media sosial di era digital terhadap moralitas anak bangsa, Juni 2019
  Koni, S. M. A. (2016). Pengaruh Jejaring Sosial Terhadap Pendidikan Karakter Peserta Didik. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam.
  Abdullah Khozin Afandi, Fenomenologi: Pemahaman Terhadap Pikiran-Pikiran Edmund Husserl, (Surabaya: eLKAF, 2007).
  John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah Etika, disadur oleh Abdur Munir Mulkhan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), 
  Sardiman A. M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: Rajawali Press, 1990),
  Rosif, Dialektika Pendidikan Etika Dalam Islam (Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih) Jurnal PAI Volume 3 Nomor 2 November 2015
  L. T. Takhrudin, Pribadi-Pribadi Yang Berpengaruh (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1991),
  Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Aksara Baru, 1984),
  Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan, terj. Yusuf Maulana, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2003),
  Abd  Haris, Pengantar Etika Islam. (Sidoarjo: Al-Afkar, 2007),
  Ahmad Tafsir, Moralitas al-Qur’an dan Tantangan Modernitas (Yogyakarta: Gama Media, 2002),
  Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Bandung: Rineka Cipta, 1983), 12. Lihat juga H. Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),  30.
  Zakiah Daradjat, Problematika Remaja di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. I.
  John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah Etika,
  Rosif, Dialektika Pendidikan Etika Dalam Islam (Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih) Jurnal PAI Volume 3 Nomor 2 November 2015
  M. Yatim  Abdullah. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. (Jakarta: Amzah. 2007), 
  Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1972),
  Husein Bahreisj, Ajaran-Ajaran Akhlak. (Surabaya: Al-Ikhlas. 1981).
  Imam  Mujiono, ’et.Al’. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. (Yogyakarta: UII Press Indonesia. 2002),
  Haidar Bagir, Etika Barat, Etika Islam, Pengantar untuk Amin Abdullah, antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
  Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 1987),
  Hamzah Ya’kub , Etika Islami : Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), (Bandung: CV, Diponegoro,  1983),
  Rafik Issa Beekum, Islamic Business Athics (Pent. Muhammad, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004)
  Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam Moderen, (Yogyakarta:Graha Ilmu, n 2007),
  Anggi Rosalia, Etika dan Sistem Pergaulan. June 13, 2016
  Joko Tri Haryanto Tesis,  Etika Pemberitaan Politik Dalam Media Massa Tinjauan Etika Islam. Dikutif 12 desember 2019.
  Rama Angriawan, Media Sosial dan Karakter Generasi Milenial dalam Perkembangan Teknologi, 19 Mei 2019
  https://www.kompasiana.com hendriana1994 5535a1cf6ea834370fda42ef pengaru dasyat media terhadap pembentukan-karakter-remaja.
  Astrid, https://blog.sabda.org. pengaruh-sosial-media-dalam-pembentukan-karakter-anak.  2015






[1] Astrid, https://blog.sabda.org. pengaruh-sosial-media-dalam-pembentukan-karakter-anak.  2015
[2] Fatwa MUI Nomor. 24 tahun 2017. Tentang Hokum Dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Hal.1
[4] Nabillah Nur Syahidah, pengaruh media sosial di era digital terhadap moralitas anak bangsa, June 2019
[5] Koni, S. M. A. (2016). Pengaruh Jejaring Sosial Terhadap Pendidikan Karakter Peserta Didik. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 4(2), 37–43.
[6] Abdullah Khozin Afandi, Fenomenologi: Pemahaman Terhadap Pikiran-Pikiran Edmund
Husserl), (Surabaya: eLKAF, 2007), hal. 2
[7] Pernita Hestin Untari, Ditemukan 6.895 Akun Terkait Pelanggaran UU ITE dari 2017-2019. ttps://techno.okezone.com
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Industri_4.0
[10] Iffah Al Walidah, Tabayyun di Era Generasi Millenial. September 2018  https://www.researchgate.net
[11] John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah Etika, disadur oleh Abdur Munir Mulkhan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002),  22.
[12] Sardiman A. M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: Rajawali Press, 1990),  18.
[13] Rosif, Dialektika Pendidikan Etika Dalam Islam (Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih) Jurnal PAI Volume 3 Nomor 2 November 2015 Hal. 399
[14] L. T. Takhrudin, Pribadi-Pribadi Yang Berpengaruh (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1991),  18.
[15] Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Aksara Baru, 1984), 191
[16] Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan, terj. Yusuf Maulana, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2003),  99-100.
[17] Abd  Haris, Pengantar Etika Islam. (Sidoarjo: Al-Afkar, 2007), 3.
[18] Ahmad Tafsir, Moralitas al-Qur’an dan Tantangan Modernitas (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 15.
[19] Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Bandung: Rineka Cipta, 1983), 12. Lihat juga H. Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),  30.
[20] Zakiah Daradjat, Problematika Remaja di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. I, 157
[21] John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah Etika, 3.
[22] Rosif, Dialektika Pendidikan Etika Dalam Islam (Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih) Jurnal PAI Volume 3 Nomor 2 November 2015 Hal. 399
[23] M. Yatim  Abdullah. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. (Jakarta: Amzah. 2007), 
73-74.
[24] Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1972), 202
[25] Husein Bahreisj, Ajaran-Ajaran Akhlak. (Surabaya: Al-Ikhlas. 1981), 41.
[26] Imam  Mujiono, ’et.Al’. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. (Yogyakarta: UII Press Indonesia. 2002), 86.
[27] Haidar Bagir, Etika Barat, Etika Islam, Pengantar untuk Amin Abdullah, antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), 15.
[28] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 23.
[29] Hamzah Ya’kub , Etika Islami : Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), (Bandung: CV, Diponegoro,  1983), h. 12.
[30] Rafik Issa Beekum, Islamic Business Athics (Pent. Muhammad, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004) h. 3.
[31] Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam Moderen, (Yogyakarta:Graha Ilmu, n2007),
h.88.
[32] Anggi Rosalia, Etika dan Sistem Pergaulan. June 13, 2016
[33] Joko Tri Haryanto Tesis,  Etika Pemberitaan Politik Dalam Media Massa Tinjauan Etika Islam. Dikutif 12 desember 2019. Hal. 146
[34] Rama Angriawan, Media Sosial dan Karakter Generasi Milenial dalam Perkembangan Teknologi, 19 Mei 2019
[35] Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media social nomor : 24 tahun 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN STRATEGIK ANALISIS S.W.O.T

CONTOH SOAL STATISTIK EKONOMI